Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali menjadi sorotan publik pada akhir tahun 2025. RUU ini dijadwalkan untuk memasuki tahap akhir di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), memicu berbagai diskusi di kalangan masyarakat, praktisi hukum, dan akademisi.
Bagi sebagian besar masyarakat awam, istilah ini mungkin terdengar teknis. Namun, RUU KUHAP memiliki dampak langsung pada proses penegakan hukum dan perlindungan hak-hak warga negara. Pertanyaan mendasar seperti apa itu RUU KUHAP dan mengapa revisi ini sangat mendesak untuk dilakukan, ramai dicari publik.
Pada dasarnya, ini adalah “buku panduan” atau “aturan main” bagi aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim, dalam menangani sebuah perkara pidana. Mengingat pentingnya regulasi ini, artikel ini akan mengulas secara lengkap apa itu, tujuan pembaruannya, poin-poin penting perubahannya, serta status terbarunya di DPR.
Pengertian dan Tujuan RUU KUHAP
Secara definisi, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) adalah hukum formil yang mengatur tata cara penegakan hukum pidana materiil (yang diatur dalam KUHP). Sederhananya, jika KUHP berisi daftar perbuatan pidana dan hukumannya, maka KUHAP adalah prosedur untuk membuktikan dan menegakkan aturan tersebut.
Regulasi yang saat ini berlaku adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Artinya, aturan main penegakan hukum pidana di Indonesia telah berusia lebih dari 40 tahun. Pembaruan dianggap mendesak karena beberapa alasan utama:
- Sudah Tidak Relevan (Outdated)
KUHAP 1981 disusun pada era pra-digital. Akibatnya, undang-undang ini tidak lagi mampu mengakomodasi tantangan zaman, seperti ketiadaan pengaturan formal mengenai alat bukti elektronik. - Kekosongan Hukum
Aturan lama tidak mengatur secara jelas tata cara pemeriksaan dan pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana. - Urgensi Harmonisasi
Alasan paling mendesak adalah pengesahan KUHP Nasional baru (UU No. 1 Tahun 2023) yang akan berlaku efektif pada 2 Januari 2026. KUHP baru ini memperkenalkan banyak konsep baru, seperti pidana kerja sosial dan fokus pada keadilan restoratif, yang mekanisme pelaksanaannya tidak diatur dalam KUHAP 1981.
Oleh karena itu, tujuan utama dari RUU KUHAP terbaru adalah menciptakan hukum acara yang modern, adaptif, dan selaras dengan paradigma KUHP Nasional.
Isi Pokok dan Perubahan Penting dalam RUU KUHAP 2025

RUU KUHAP 2025 membawa sejumlah perubahan fundamental untuk memodernisasi proses peradilan pidana di Indonesia. Poin-poin ini menjawab pertanyaan dasar dengan menunjukkan perbedaannya dari aturan lama.
Berdasarkan draf dan hasil pembahasan yang dirangkum dari berbagai sumber, berikut adalah beberapa isi pokok dan perubahan penting dalam RUU KUHAP :
- Formalisasi Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
Konsep ini, yang mengutamakan pemulihan korban dan pelaku di luar pengadilan, diatur secara resmi sebagai salah satu mekanisme penghentian perkara pada tahap penyidikan atau penuntutan. - Pengakuan Alat Bukti Elektronik
RUU ini secara eksplisit mengakui alat bukti elektronik (seperti data digital atau rekaman CCTV) sebagai alat bukti yang sah di pengadilan, memberikan kepastian hukum yang selama ini absen. - Prosedur Pidana Korporasi
Diperkenalkan bab khusus yang mengatur tata cara pemanggilan, pemeriksaan, penyitaan aset, dan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subjek hukum. - Penguatan Hak Tersangka dan Terdakwa
RUU ini diklaim memperkuat hak-hak tersangka, termasuk jaminan untuk didampingi advokat atau penasihat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan. - Perlindungan Saksi dan Korban
Adanya pengaturan yang lebih tegas mengenai hak korban atas kompensasi, restitusi (ganti rugi oleh pelaku), dan rehabilitasi. - Mekanisme Hukum Baru
Mengadopsi mekanisme modern seperti Plea Bargaining (terdakwa mengaku bersalah untuk mendapat keringanan hukuman) dan Deferred Prosecution Agreement (perjanjian penundaan penuntutan, khususnya untuk korporasi). - Penguatan Praperadilan
Meski draf awal memunculkan ide “Hakim Pemeriksa Pendahuluan” , draf final dilaporkan tetap mempertahankan lembaga Praperadilan namun dengan penguatan. Salah satunya, proses sidang pokok tidak dapat menggugurkan gugatan praperadilan yang sedang berjalan. - Pengaturan Saksi Mahkota (Crown Witness)
Melegalkan praktik seorang tersangka atau terdakwa yang menjadi saksi untuk tersangka lain yang terlibat dalam satu perkara yang sama (berkas dipisah).
Status Terbaru Pengesahan RUU KUHAP di DPR
Status RUU KUHAP terkini telah memasuki tahapan legislasi akhir di DPR. RUU ini merupakan inisiatif DPR dan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2025 dan 2026.
Proses pembahasan KUHAP 2025 mengalami percepatan signifikan setelah pemerintah, diwakili Kemenkumham, menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada Komisi III DPR pada 8 Juli 2025.
Pembahasan di Tingkat I, yakni antara Komisi III DPR dan Pemerintah, telah dinyatakan rampung. Seluruh fraksi partai politik dan perwakilan pemerintah telah menyetujui RUU tersebut untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Status terbaru per Selasa, 18 November 2025, RUU KUHAP dijadwalkan untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI (Pembicaraan Tingkat II). Agenda rapat paripurna ini adalah pengambilan keputusan akhir untuk mengesahkan RUU KUHAP menjadi Undang-Undang.
Isu dan Perdebatan Publik yang Menyertai RUU KUHAP

Meski proses legislasi di parlemen berjalan mulus, pembahasan RUU KUHAP terbaru ini diwarnai kritik dan penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat.
Di satu sisi, pemerintah dan DPR berpandangan RUU ini adalah pembaruan hukum yang mendesak untuk modernisasi dan penguatan due process of law (proses hukum yang adil). Namun, di sisi lain, kritik tajam datang dari dua kelompok utama:
1. Kritik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
KPK secara resmi mencatat setidaknya 17 poin masalah dalam draf RUU KUHAP yang dinilai berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi.
Kekhawatiran terbesar KPK adalah potensi erosi asas lex specialis (hukum khusus mengesampingkan hukum umum). Ditemukan adanya pasal (seperti Pasal 329 dan 330 dalam draf) yang menafsirkan bahwa undang-undang khusus (seperti UU KPK) hanya berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan RUU KUHAP baru.
Hal ini dikhawatirkan dapat melumpuhkan kewenangan khusus KPK, seperti penyadapan tanpa izin pengadilan, yang selama ini menjadi tulang punggung operasi tangkap tangan (OTT). Menanggapi kritik ini, DPR menyatakan isu penyadapan akan dikeluarkan dari RUU KUHAP dan diatur dalam undang-undang terpisah di masa mendatang.
2. Kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil
Penolakan juga datang dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, yang terdiri dari puluhan organisasi seperti YLBHI, ICJR, PSHK, KontraS, dan AJI Indonesia.
Koalisi telah melayangkan Somasi Terbuka kepada Presiden dan DPR, mendesak penghentian pengesahan RUU KUHAP. Mereka juga merencanakan aksi demonstrasi di depan Gedung DPR bertepatan dengan jadwal Rapat Paripurna.
Kritik utama koalisi terbagi dua:
- Masalah Proses (Formal)
Proses legislasi dinilai tergesa-gesa, tertutup, dan tidak memenuhi standar partisipasi publik yang bermakna. Koalisi bahkan menuding adanya praktik “pencatutan nama” organisasi mereka untuk memberi kesan legitimasi publik. - Masalah Substansi (Materiil)
Koalisi mengidentifikasi 9 poin krusial yang bermasalah. Mereka menilai RUU KUHAP gagal memperkuat pengawasan yudisial terhadap aparat (judicial scrutiny) dan masih jauh dari semangat perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Dampak RUU KUHAP Jika Disahkan
Jika RUU KUHAP resmi disahkan, dampaknya akan sangat luas bagi sistem peradilan pidana di Indonesia. Dampak ini akan menentukan RUU KUHAP dalam praktiknya.
Bagi aparat penegak hukum, RUU ini akan menjadi pedoman baru dalam bekerja, terutama dalam menangani bukti digital dan pidana korporasi. Bagi sistem peradilan, RUU ini diharapkan dapat mempercepat proses hukum melalui mekanisme baru sepertiĀ plea bargaining.
Bagi masyarakat dan tersangka, RUU ini menjanjikan penguatan perlindungan hak-hak hukum. Namun, bagi upaya pemberantasan korupsi, kalangan kritikus tetap khawatir akan potensi pelemahan kewenangan lembaga khusus seperti KPK, tergantung pada interpretasi akhir pasal-pasal terkaitĀ lex specialis.
Penutup
Rancangan Undang-Undang KUHAP adalah sebuah langkah legislasi monumental yang didorong oleh kebutuhan mendesak untuk harmonisasi dengan KUHP Nasional baru. RUU ini tidak diragukan lagi membawa sejumlah modernisasi yang diperlukan, seperti pengakuan bukti elektronik dan keadilan restoratif.
Namun, proses pengesahannya yang dipercepat diwarnai oleh catatan kritis serius dari Komisi Pemberantasan Korupsi dan penolakan dari koalisi masyarakat sipil. Mereka menyoroti masalah transparansi, partisipasi publik, dan substansi yang berpotensi mengancam perlindungan HAM serta upaya pemberantasan korupsi. Pengesahan RUU KUHAP hari ini akan menjadi titik penting yang menentukan wajah hukum secara pidana Indonesia di masa depan.
Baca Juga: Redenominasi Rupiah: Pengertian, Tujuan, Contoh, dan Dampaknya bagi Masyarakat Indonesia
Redenominasi Rupiah: Pengertian, Tujuan, Contoh, dan Dampaknya bagi Masyarakat Indonesia





