Pembicaraan mengenai RUU Penyadapan kembali memanas di tengah masyarakat dan kalangan pakar hukum Indonesia pasca-pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru. Regulasi ini dianggap sebagai kepingan puzzle yang hilang dalam reformasi sistem peradilan pidana nasional.
Tanpa adanya RUU Penyadapan yang sah, pelaksanaan intersepsi komunikasi oleh aparat penegak hukum berpotensi menimbulkan kekacauan hukum dan pelanggaran privasi. Artikel ini akan mengupas tuntas apa sebenarnya isi rancangan undang-undang ini, urgensinya, serta bagaimana hubungannya dengan KUHAP baru yang akan segera berlaku efektif.
Mengapa RUU Penyadapan Menjadi Sangat Penting Saat Ini?
Kehadiran RUU Penyadapan bukan sekadar keinginan politik, melainkan mandat konstitusional yang harus segera dipenuhi. Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya telah menegaskan bahwa aturan mengenai penyadapan harus diatur dalam tingkat undang-undang, bukan peraturan di bawahnya.
Selama bertahun-tahun, aturan penyadapan di Indonesia tersebar di berbagai undang-undang sektoral, seperti UU ITE, UU Telekomunikasi, dan UU KPK. Kondisi ini menciptakan standar ganda dan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya.
Pemerintah dan DPR kini menempatkan RUU Penyadapan sebagai prioritas utama dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Langkah ini diambil untuk menyatukan seluruh mekanisme intersepsi ke dalam satu payung hukum yang komprehensif dan terstandarisasi.
Hubungan Vital Antara RUU Penyadapan dan RUU KUHAP Baru
Anda mungkin bertanya, apa kaitan langsung antara regulasi ini dengan RUU KUHAP yang baru saja disahkan pada 18 November 2025? Jawabannya terletak pada mekanisme pendelegasian wewenang yang diatur dalam KUHAP baru tersebut.
Pasal 129 KUHAP baru secara eksplisit menyatakan bahwa ketentuan teknis lebih lanjut mengenai penyadapan akan diatur dengan Undang-Undang mengenai Penyadapan. Artinya, KUHAP baru memberikan “kunci” kewenangan, namun “cara menggunakan kuncinya” ada di undang-undang terpisah.
Jika RUU Penyadapan tidak segera disahkan sebelum KUHAP baru berlaku efektif pada 2 Januari 2026, dikhawatirkan akan terjadi kekosongan hukum. Aparat memiliki kewenangan menyadap, tetapi tidak memiliki panduan prosedur yang sah secara konstitusional untuk melaksanakannya.
Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti risiko ini. Mereka mengkhawatirkan adanya celah bagi penyidik untuk melakukan penyadapan “liar” dengan dalih keadaan mendesak jika aturan mainnya belum diketok palu.
Bocoran Isi RUU Penyadapan yang Perlu Anda Tahu
Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, telah memberikan gambaran mengenai poin-poin krusial yang akan dimuat dalam rancangan ini. Fokus utamanya adalah unifikasi dan perlindungan hak asasi manusia.
Berikut adalah beberapa poin materi muatan utamanya:
- Penyatuan Aturan Sektoral: Kewenangan penyadapan yang ada di Polri, Kejaksaan, dan KPK akan disatukan prosedurnya dalam satu UU ini.
- Pemisahan Rezim: Akan ada pemisahan tegas antara penyadapan untuk penegakan hukum (pro justitia) dan penyadapan untuk intelijen atau keamanan negara.
- Mekanisme Izin Hakim: Penyadapan untuk penegakan hukum wajib mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin objektivitas.
- Lembaga Pengawas: Wacana pembentukan Dewan Pengawas Penyadapan Nasional untuk melakukan audit berkala terhadap kepatuhan aparat.
Perbedaan Penyadapan Intelijen dan Penegakan Hukum dalam RUU

Salah satu isu paling sensitif dalam pembahasan RUU Penyadapan adalah bagaimana memperlakukan operasi intelijen. Pemerintah menegaskan bahwa rezim intelijen berbeda dengan penegakan hukum biasa.
Penyadapan untuk tujuan keamanan negara (intelijen) bersifat rahasia dan ditujukan untuk deteksi dini ancaman, sehingga hasilnya tidak ditujukan untuk menjadi alat bukti di pengadilan. Sebaliknya, penyadapan penegakan hukum bertujuan mencari alat bukti dan harus transparan saat diuji di persidangan.
Komnas HAM mengingatkan agar RUU Penyadapan mengatur hal ini dengan ketat. Tujuannya agar data intelijen tidak diselundupkan menjadi alat bukti hukum tanpa melalui prosedur due process of law yang benar.
Nasib KPK di Tengah Unifikasi RUU Penyadapan
Banyak pihak bertanya mengenai nasib kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selama ini, KPK memiliki kewenangan khusus (lex specialis) dalam melakukan penyadapan.
Dengan adanya semangat unifikasi dalam RUU Penyadapan, muncul kekhawatiran bahwa KPK akan kehilangan “taringnya” karena harus mengikuti prosedur birokrasi izin pengadilan yang berbelit. Pegiat antikorupsi menilai mekanisme izin pengadilan rentan bocor.
Namun, Ketua KPK periode 2024-2029, Setyo Budiyanto, menyatakan optimisme bahwa perubahan ini tidak akan mengganggu kinerja pemberantasan korupsi secara signifikan. KPK siap beradaptasi sebagai pelaksana undang-undang.
Membandingkan RUU Penyadapan dengan Aturan Negara Lain
Indonesia bukan satu-satunya negara yang bergulat dengan isu privasi dan keamanan. Studi perbandingan menunjukkan berbagai pendekatan yang diterapkan negara maju terkait regulasi penyadapan.
- Amerika Serikat: Menerapkan Wiretap Act yang sangat ketat. Penyadapan penegakan hukum memerlukan surat perintah hakim (warrant) dengan bukti permulaan yang kuat.
- Inggris: Memiliki Investigatory Powers Act. Izin penyadapan seringkali melibatkan persetujuan tingkat menteri (eksekutif) namun diawasi ketat oleh komisioner yudisial.
- Belanda: Awalnya melarang total, namun kini mengizinkan dengan syarat yang sangat rigid dan terpusat sejak tahun 1993.
- Australia: Memiliki kerangka hukum federal yang terpadu dengan mekanisme akuntabilitas yang jelas, berbeda dengan Indonesia yang selama ini masih sektoral.
Belajar dari negara-negara tersebut, RUU Penyadapan di Indonesia mencoba mengadopsi model judicial authorization (izin hakim) seperti di AS, untuk memastikan adanya check and balances.
Dampak Bagi Privasi dan Perlindungan Data Masyarakat

Bagi masyarakat awam, keberadaan RUU Penyadapan adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia diperlukan untuk memberantas kejahatan luar biasa seperti terorisme dan korupsi.
Di sisi lain, tanpa aturan yang ketat, privasi warga negara menjadi taruhannya. Dalam era digital, penyadapan tidak hanya soal suara telepon, tapi juga data internet dan percakapan aplikasi pesan instan.
Oleh karena itu, RUU ini diharapkan memuat sanksi pidana yang berat bagi aparat yang melakukan penyadapan ilegal (illegal interception) atau menyalahgunakan data hasil sadapan untuk kepentingan pribadi atau politik. Perlindungan data pihak ketiga yang tidak terlibat kejahatan juga harus dijamin.
Status Terkini Pembahasan RUU Penyadapan di DPR
Saat ini, naskah akademik dan draf RUU Penyadapan diklaim sudah rampung disiapkan oleh pemerintah. DPR telah memasukkannya ke dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025 dengan nomor urut 49.
Pembahasan diperkirakan akan berjalan maraton mengingat tenggat waktu pemberlakuan KUHAP baru pada awal 2026. Fraksi-fraksi di DPR, seperti yang disampaikan Ketua Komisi III Habiburokhman, sepakat bahwa penyadapan harus diatur sangat hati-hati dan tidak boleh sewenang-wenang.
Harapan Publik Terhadap RUU Penyadapan
Publik menaruh harapan besar agar RUU Penyadapan segera diselesaikan dengan transparan. Jangan sampai undang-undang ini justru menjadi alat kekuasaan untuk membungkam kritik atau melanggar privasi warga negara secara masif.
Sinergi antara KUHAP baru dan RUU Penyadapan harus menghasilkan sistem penegakan hukum yang modern, efektif, namun tetap memanusiakan manusia. Transparansi prosedur dan pengawasan yang berlapis adalah kunci agar rasa aman masyarakat tetap terjaga di tengah upaya negara menegakkan hukum.
Masyarakat sipil, akademisi, dan media perlu terus mengawal proses pembahasan ini di Senayan agar pasal-pasal karet yang berpotensi merugikan hak asasi manusia dapat dieliminasi sejak dini.
Baca Juga: Apa Itu RUU KUHAP? Penjelasan Lengkap, Status Terbaru 2025, dan Isi Pembahasannya di DPR
Apa Itu RUU KUHAP? Penjelasan Lengkap, Status Terbaru 2025, dan Isi Pembahasannya di DPR





