Istilah bencana nasional menjadi topik hangat yang diperbincangkan publik menyusul banjir bandang dan longsor dahsyat yang melanda wilayah Sumatera Utara pada akhir tahun 2025 ini. Kerusakan masif di Tapanuli Selatan, Sibolga, hingga Deli Serdang memicu desakan dari berbagai pihak agar pemerintah pusat mengambil alih komando penuh.
Banyak masyarakat awam beranggapan bahwa setiap musibah dengan jumlah korban jiwa yang besar otomatis naik statusnya menjadi nasional. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah memilih pendekatan berbeda dalam menangani krisis di Sumatera.
Artikel ini akan mengupas tuntas definisi hukum, indikator teknis, serta alasan mengapa banjir besar di Sumatera Utara kali ini tidak, atau belum, ditetapkan sebagai status nasional meskipun dampaknya sangat luar biasa.
Apa Itu Bencana Nasional Menurut Regulasi?
Secara sederhana, bencana nasional adalah status hukum tertinggi dalam manajemen kedaruratan di Indonesia. Status ini ditetapkan ketika bencana alam atau non-alam mengganggu kehidupan masyarakat secara luas dan pemerintah daerah dianggap sudah tidak mampu lagi menanganinya.
Penting untuk dipahami bahwa status ini bukan sekadar label untuk menggambarkan skala kehancuran. Status ini berkaitan erat dengan siapa yang memegang kendali komando, dari mana sumber anggaran utama berasal, dan bagaimana mobilisasi sumber daya dilakukan.
Sebaliknya, “bencana daerah” adalah kondisi di mana pemerintah daerah (Provinsi atau Kabupaten/Kota) masih dianggap memiliki kapasitas untuk memimpin penanggulangan, meskipun tetap mendapat dukungan penuh dari pemerintah pusat.

Dasar Hukum dan Peran Pemerintah
Penetapan status kebencanaan di Indonesia tidak dilakukan secara sembarangan. Acuan utamanya adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Aturan ini menjadi landasan bagi pemerintah dalam menentukan tingkatan bencana.
Dalam undang-undang tersebut, wewenang penetapan status bencana tingkat nasional berada di tangan Presiden. Keputusan ini diambil setelah mendapatkan data dan rekomendasi teknis dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Sementara itu, untuk skala provinsi atau kabupaten/kota, wewenang penetapan status darurat ada pada Gubernur atau Bupati/Wali Kota. Pemerintah pusat tetap hadir memberikan pendampingan, namun poros komando tetap berada di tangan kepala daerah setempat.
Kriteria Penetapan Status Bencana

Banyak yang bertanya-tanya, parameter apa yang digunakan untuk menaikkan status sebuah kejadian? UU No. 24 Tahun 2007 Pasal 7 ayat (2) merinci indikator utama penetapan status bencana nasional yang meliputi:
- Jumlah Korban Jiwa: Seberapa banyak korban meninggal dunia dan luka-luka akibat peristiwa tersebut.
- Kerugian Harta Benda: Nilai estimasi kerusakan aset masyarakat seperti rumah, kendaraan, dan lahan pertanian.
- Kerusakan Prasarana dan Sarana: Tingkat kehancuran fasilitas publik vital seperti jembatan, jalan raya, jaringan listrik, dan telekomunikasi.
- Cakupan Luas Wilayah: Apakah bencana meluas hingga melintasi batas administrasi provinsi secara masif.
- Dampak Sosial Ekonomi: Seberapa parah bencana tersebut melumpuhkan aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat.
Namun, ada satu faktor kunci yang sering tidak tertulis secara eksplisit namun menjadi penentu utama, yaitu kelumpuhan pemerintahan daerah. Jika mesin birokrasi daerah (Pemda) lumpuh total dan tidak bisa bekerja, barulah pusat mengambil alih sepenuhnya.
Mengapa Banjir di Sumut Tidak Ditetapkan Sebagai Bencana Nasional?
Melihat kerusakan di Tapanuli dan wilayah sekitarnya, publik mungkin merasa kriteria di atas sudah terpenuhi. Namun, pemerintah pusat memiliki penilaian berbeda terkait banjir Sumatera Utara 2025 ini.
Alasan utamanya adalah keberlangsungan fungsi pemerintahan daerah. Pemerintah pusat menilai Gubernur Sumatera Utara beserta para Bupati dan Wali Kota di wilayah terdampak masih berada di tempat dan mampu menjalankan roda pemerintahan.
Pemerintah tidak ingin penetapan status bencana nasional justru mematikan inisiatif dan tanggung jawab daerah. Jika status nasional ditetapkan, seluruh wewenang daerah otomatis dicabut dan diambil alih pusat, yang dalam beberapa kasus justru bisa memperpanjang rantai birokrasi lapangan.
Sebagai gantinya, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah taktis dengan menetapkan status “Prioritas Nasional”. Ini berarti status hukumnya tetap bencana daerah, namun penanganannya dilakukan dengan kekuatan penuh (full force) layaknya bencana nasional, termasuk pengerahan TNI, Polri, dan dukungan anggaran pusat tanpa batas.
Dampak Jika Status Bencana Nasional Diberlakukan

Lantas, apa yang sebenarnya berubah jika status tersebut resmi disematkan? Berikut adalah konsekuensi hukum dan administratifnya:
- Komando Terpusat
Kendali operasi tidak lagi di tangan Gubernur atau Bupati, melainkan langsung di bawah Kepala BNPB atau pejabat yang ditunjuk Presiden. - Pendanaan APBN Penuh
Seluruh biaya penanggulangan ditanggung oleh APBN. Pemerintah daerah tidak lagi dibebani biaya dari APBD mereka yang terbatas. - Pintu Bantuan Asing
Biasanya, status nasional menjadi sinyal bagi komunitas internasional bahwa Indonesia membuka pintu (open door policy) untuk bantuan asing secara resmi. - Mobilisasi Total
Pengerahan sumber daya nasional (militer, sipil, swasta) dilakukan secara instruktif dari pusat, bukan lagi bersifat perbantuan.
Dalam kasus Sumatera Utara, pemerintah merasa dukungan pendanaan bisa diselesaikan lewat Dana Siap Pakai (DSP) BNPB, sehingga perubahan status administrasi dianggap belum mendesak.
Cara Memantau Status Kebencanaan
Masyarakat perlu waspada terhadap simpang siur informasi di media sosial. Status resmi kebencanaan hanya dikeluarkan oleh otoritas berwenang. Anda bisa mengecek status terkini melalui kanal resmi BNPB atau BPBD setempat.
Informasi valid biasanya dipublikasikan melalui siaran pers resmi pemerintah atau dashboard data bencana yang dikelola oleh BNPB. Memahami status ini penting agar masyarakat mengerti alur koordinasi bantuan yang sedang berjalan.
Penutup
Bencana banjir dan longsor di Sumatera Utara adalah tragedi kemanusiaan yang membutuhkan penanganan serius. Meskipun tidak menyandang label bencana nasional, bukan berarti penanganannya setengah hati. Keputusan pemerintah mempertahankan status daerah dengan “Prioritas Nasional” didasarkan pada pertimbangan bahwa mesin pemerintahan lokal masih berfungsi. Yang terpenting saat ini adalah percepatan distribusi bantuan dan pemulihan bagi para korban, terlepas dari apa pun label status yang melekat pada dokumen adminsitrasi negara.
Baca Juga: PT Toba Pulp Lestari Tbk: Apa Itu, Bergerak di Bidang Apa, dan Siapa Pemiliknya
PT Toba Pulp Lestari Tbk: Apa Itu, Bergerak di Bidang Apa, dan Siapa Pemiliknya





