Isu mengenai dana reses DPR kembali menjadi sorotan publik setelah adanya kabar kenaikan anggaran menjadi Rp702 juta per anggota dewan pada tahun 2025. Kenaikan ini menimbulkan berbagai tanggapan dari masyarakat, mulai dari pertanyaan soal transparansi hingga efektivitas penggunaan dana tersebut di lapangan.
Bagi sebagian orang, dana reses dianggap penting karena menjadi sumber pembiayaan kegiatan anggota DPR saat turun ke daerah pemilihan untuk menyerap aspirasi rakyat. Namun, di sisi lain, besarnya nominal kenaikan ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan atau kurangnya laporan publik yang terbuka.
Artikel ini akan membahas secara netral mengenai tujuan, mekanisme, dan pengawasan dana reses DPR, termasuk alasan kenaikan anggarannya serta bagaimana publik bisa turut mengawasi penggunaannya agar tetap akuntabel dan transparan.
Apa Itu Dana Reses DPR dan Fungsinya
Secara sederhana, dana reses adalah anggaran resmi yang diberikan kepada setiap anggota DPR untuk membiayai kegiatan kunjungan kerja di daerah pemilihan (dapil). Kegiatan ini dikenal sebagai “reses”, di mana anggota dewan berinteraksi langsung dengan masyarakat untuk mendengarkan aspirasi, menyampaikan program, dan memantau pelaksanaan kebijakan pemerintah.
Fungsi utama dari dana reses adalah memastikan bahwa setiap anggota dewan tidak hanya bekerja di gedung parlemen, tetapi juga aktif menjembatani kepentingan rakyat di daerah. Dana ini mencakup biaya transportasi, akomodasi, penyelenggaraan pertemuan, dokumentasi, serta pelaporan hasil kegiatan reses yang nantinya disampaikan kembali ke DPR.
Meskipun tujuannya baik, pelaksanaan dana reses sering kali menimbulkan pertanyaan publik terkait efektivitas dan transparansinya. Karena itu, penting untuk memahami bagaimana alokasi dan pengawasan dana reses DPR diatur agar sesuai dengan prinsip akuntabilitas keuangan negara.

Kenaikan Dana Reses DPR Tahun 2025
Untuk periode 2024-2029, alokasi dana reses 2025 ditetapkan sebesar Rp702 juta per anggota untuk setiap masa kegiatan. Angka ini merupakan kenaikan sebesar 75,5% dari periode 2019-2024 yang besarannya adalah Rp400 juta. Dalam setahun, anggota DPR biasanya menjalankan reses sebanyak empat hingga lima kali.
Pihak pimpinan DPR menjelaskan bahwa kebijakan ini bukanlah “kenaikan”, melainkan “penyesuaian” atau kebijakan yang berbeda untuk periode keanggotaan yang berbeda. Alasan utama yang disampaikan adalah adanya penambahan “indeks kegiatan” dan “jumlah titik kunjungan” yang harus disambangi oleh anggota dewan di dapil mereka. Usulan ini telah dibahas sejak Januari 2025 dan disetujui oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan pada Mei 2025.
Tujuan dan Penggunaan Dana Reses DPR
Secara regulasi, tujuan utama dana reses DPR adalah untuk mendukung penuh kegiatan anggota dewan dalam menjaring aspirasi masyarakat di dapil. Dana ini dialokasikan untuk membiayai berbagai kegiatan, di antaranya:
- Pertemuan Tatap Muka:
Mengadakan pertemuan formal atau dialog dengan berbagai kelompok masyarakat, tokoh adat, pemuda, dan organisasi lokal. - Kunjungan Lapangan:
Meninjau langsung kondisi infrastruktur atau program pemerintah di daerah. - Sosialisasi Kebijakan:
Menjelaskan program atau undang-undang yang relevan bagi masyarakat di dapil. - Biaya Operasional:
Mencakup biaya transportasi, sewa tempat, konsumsi peserta, serta dokumentasi dan pelaporan hasil kegiatan.
Namun pimpinan DPR juga mengakui bahwa dana tersebut terkadang digunakan untuk kebutuhan lain di lapangan, seperti memberikan “uang saku” bagi tim relawan yang membantu mengoordinasikan kegiatan, karena besarnya tuntutan dari masyarakat.
Respons Publik dan Isu Transparansi
Kenaikan dana reses ini menuai kritik tajam dari masyarakat sipil dan lembaga pengawas parlemen seperti Indonesian Parliamentary Center (IPC) dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).
Kritik utama berpusat pada beberapa isu:
- Kurangnya Dasar Perhitungan yang Jelas
Para pengamat menilai alasan “penambahan indeks dan titik kegiatan” terlalu umum dan tidak didasari perhitungan yang konkret dan bisa diakses publik. - Sistem Lump Sum yang Rawan Penyelewengan
Dana diberikan dalam bentuk gelondongan (lump sum) di awal, bukan berdasarkan bukti pengeluaran riil (at-cost). Sistem ini, ditambah dengan laporan yang tidak transparan, dianggap membuka peluang penyalahgunaan. - Paradoks Moral
Kenaikan fasilitas pejabat dinilai tidak menunjukkan empati di tengah kondisi fiskal negara yang ketat dan efisiensi anggaran di sektor lain.
Banyak pihak mendorong adanya transparansi anggaran DPR yang lebih baik, di mana laporan penggunaan dana reses dapat diakses dan diaudit oleh publik untuk memastikan setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar bermanfaat bagi rakyat.

Mekanisme Pengawasan dan Akuntabilitas
Saat ini, mekanisme pertanggungjawaban dana reses bersifat internal. Anggota dewan diwajibkan membuat laporan kegiatan yang diserahkan kepada fraksi partainya masing-masing. Pihak DPR menyatakan bahwa laporan ini juga diperiksa oleh Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR dan menjadi objek audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Menjawab tuntutan publik terkait pengawasan dana publik DPR, pimpinan dewan menjanjikan sebuah terobosan berbasis teknologi. Setjen DPR tengah mengembangkan aplikasi pelaporan digital yang dapat diakses publik. Melalui aplikasi ini, seluruh anggota dewan wajib mengunggah laporan kegiatan reses mereka, lengkap dengan lokasi, dokumentasi, dan substansi aspirasi yang diserap. Nantinya, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) akan bertugas memantau kepatuhan pelaporan tersebut.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Tantangan terbesar dari kebijakan ini adalah memastikan dana reses tidak hanya menjadi formalitas administratif atau “bonus” bagi anggota dewan, melainkan benar-benar menjadi instrumen untuk memperkuat hubungan representatif. Efektivitas aplikasi pelaporan yang dijanjikan akan menjadi pertaruhan utama. Jika aplikasi tersebut hanya mewajibkan laporan seremonial tanpa rincian keuangan yang jelas, maka transparansi yang diharapkan tidak akan tercapai.
Harapan publik sederhana: setiap penggunaan uang negara harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Ke depan, publik menantikan komitmen nyata DPR untuk beralih ke sistem pelaporan yang lebih akuntabel, terperinci, dan mudah diakses, sehingga kepercayaan terhadap lembaga legislatif dapat kembali pulih.
Penutup
Kenaikan dana reses DPR menjadi Rp702 juta per anggota adalah sebuah kebijakan yang sah secara prosedural, namun memunculkan pertanyaan valid mengenai urgensi, transparansi, dan pengawasannya. Kebijakan ini akan lebih mudah diterima publik jika diiringi dengan komitmen kuat terhadap transparansi, akuntabilitas yang terukur, dan bukti hasil nyata yang dirasakan langsung oleh masyarakat di daerah pemilihan.
Baca Juga: PPN Properti Diperpanjang hingga 2027: Dampak Kebijakan Menkeu bagi Masyarakat dan Pasar Rumah
PPN Properti Diperpanjang hingga 2027: Dampak Kebijakan Menkeu bagi Masyarakat dan Pasar Rumah