Setiap sudut Indonesia menyimpan cerita, menunggu untuk diceritakan. Salah satunya adalah kisah sebuah desa yang berhasil bangkit dari keterbatasan, dan bagaimana cerita tersebut diabadikan melalui lensa kamera mahasiswa Universitas Amikom Yogyakarta. Kisah inspiratif ini lahir dalam bentuk film dokumenter Desa Wunut, menunjukkan potensi luar biasa yang tersembunyi di pelosok negeri. Bukan hanya berhenti di layar film, kisah ini kemudian dibedah tuntas dalam sebuah segmen menarik di podcast MQFM Jogja, yaitu Jendela Amikom, yang tayang pada 9 Juli 2025.
Artikel ini akan membawa kita menyelami lebih dalam perjalanan film dokumenter “Wunut: Titik Balik di Tengah Keterbatasan”, menyoroti dedikasi mahasiswa Amikom Rizky Raka Asydik dan Muhammad Nur Haqqi sebagai motor penggerak utamanya, serta bagaimana siaran radio yang kini bisa diakses sebagai podcast ini membuka jendela bagi masyarakat luas untuk memahami makna sejati dari sebuah transformasi dan inspirasi lokal.
Mengapa Desa Wunut Begitu Istimewa dan Layak Jadi Sorotan? Film Dokumenter Desa Wunut
Sebelum membahas peran mahasiswa Amikom dalam mengabadikannya, mari kita pahami dulu mengapa kisah Desa Wunut begitu memikat dan pantas menjadi sorotan. Desa yang terletak di Klaten, Jawa Tengah ini, bukan sekadar titik geografis di peta. Ia adalah narasi hidup tentang ketangguhan dan inovasi yang luar biasa. Dahulu, seperti banyak desa di pelosok Indonesia, Wunut mungkin menghadapi beragam tantangan. Keterbatasan ekonomi, kurangnya akses terhadap infrastruktur memadai, serta potensi lokal yang belum tergali maksimal, seringkali menjadi gambaran umum. Namun, respons dan perubahan di Wunutlah yang menjadikannya luar biasa.
Titik balik bagi Wunut dimulai ketika warganya, dengan semangat kolektif yang kuat, mulai mengoptimalkan aset alam yang mereka miliki: mata air umbul yang melimpah. Mata air yang jernih ini, yang dulunya hanya dimanfaatkan secara sederhana, di tangan yang tepat, ia bertransformasi menjadi magnet pariwisata. Pengembangan umbul sebagai destinasi wisata tidak hanya membuka keran pendapatan baru bagi desa, tetapi juga memutar roda perekonomian lokal. Warung-warung kecil tumbuh, lapangan kerja tercipta, dan identitas desa sebagai “desa umbul” mulai menguat.
Puncak dari keberhasilan ini menjadi viral saat berita tentang Desa Wunut yang mampu membagikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada seluruh warganya tersebar luas. Sebuah prestasi yang patut diacungi jempol, mengingat status mereka yang dulunya adalah desa dengan keterbatasan. Ini bukan hanya cerita tentang angka ekonomi, melainkan bukti konkret bahwa dengan inisiatif, kolaborasi, dan pengelolaan sumber daya yang cerdas, sebuah komunitas dapat mencapai kemandirian dan kesejahteraan. Isu sosial terkait kemiskinan dan keterbelakangan bisa diatasi, digantikan oleh kisah inspirasi lokal yang kuat.
Kisah sukses Desa Wunut adalah gambaran nyata bagaimana sebuah komunitas, dengan kemauan keras dan semangat gotong royong, dapat mengubah nasibnya sendiri. Dari titik keterbatasan, mereka menemukan titik balik, dan kini menjadi inspirasi bagi banyak desa lain.
Perjalanan Mahasiswa Amikom: Dari Gagasan Film Dokumenter Desa Wunut hingga Realita di Lapangan
Melihat potensi narasi yang begitu kuat ini, tak heran jika kisah Desa Wunut menarik perhatian para pembuat film, termasuk sekelompok mahasiswa Ilmu Komunikasi Amikom. Rizky Raka Asydik dan Muhammad Nur Haqqi adalah dua nama sentral di balik film dokumenter berjudul “Wunut: Titik Balik di Tengah Keterbatasan” ini. Raka berperan sebagai director sekaligus cameraman, sementara Haqqi bertindak sebagai producer dan scriptwriter. Proyek film ini bukan sekadar tugas biasa, melainkan menjadi tugas akhir atau skripsi mereka, sebuah bukti nyata bagaimana pendidikan tinggi di Universitas Amikom Yogyakarta mendukung inovasi dan karya nyata.
Pilihan untuk menjadikan film sebagai tugas akhir adalah hal yang menarik. Di Amikom, tersedia jalur tugas akhir non-reguler yang memungkinkan mahasiswa untuk menyelesaikan studi melalui karya kreatif, seperti film, profil perusahaan, atau bahkan desain. Raka dan Haqqi memilih jalur ini karena mereka ingin menerapkan ilmu praktik yang selama ini mereka dapat di bangku kuliah. Mereka melihat ini sebagai kesempatan emas untuk membangun portofolio yang relevan dengan minat mereka di industri perfilman, sekaligus menciptakan karya yang memiliki dampak sosial.
Pembuatan sebuah film dokumenter Desa Wunut adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh tantangan. Tim yang berjumlah 11 orang ini harus melalui tiga fase utama: pra-produksi, produksi, dan pasca-produksi.
Fase pra-produksi memakan waktu sekitar satu bulan. Ini adalah tahapan yang krusial, di mana tim melakukan riset mendalam, observasi langsung, serta membangun hubungan baik dengan warga dan perangkat desa Wunut. Memahami setiap detail kehidupan desa, tantangan yang pernah dihadapi, dan faktor-faktor kunci keberhasilan mereka, adalah pondasi untuk membangun narasi film yang kuat dan otentik. Wawancara awal, identifikasi tokoh kunci, dan penentuan lokasi syuting semua dilakukan di tahap ini. Membangun kepercayaan dengan subjek dokumenter adalah hal yang sangat vital, memastikan mereka nyaman berbagi cerita dan pengalaman.
Setelah riset matang, tibalah fase produksi atau pengambilan gambar. Yang mengejutkan, proses syuting utama film dokumenter Desa Wunut berhasil diselesaikan hanya dalam waktu dua hari. Ini menunjukkan efisiensi, perencanaan yang matang, serta kemampuan adaptasi tim yang tinggi. Meskipun demikian, tantangan di lapangan tidak bisa dihindari. Raka dan Haqqi berbagi pengalaman tentang bagaimana mereka harus menghadapi cuaca ekstrem – mulai dari panas terik yang menyengat hingga hujan deras yang datang tiba-tiba. Belum lagi kendala teknis tak terduga seperti aki mobil yang tiba-tiba habis, atau rute perjalanan yang harus diubah karena adanya car free day di area tertentu. Namun, tantangan-tantangan ini justru menguji kekompakan dan profesionalisme tim.
Dukungan dari masyarakat Desa Wunut juga menjadi faktor penting. Mereka menyambut baik kehadiran tim mahasiswa dan bersedia berbagi cerita, membuka akses, serta memberikan bantuan yang dibutuhkan. Hal ini menunjukkan kolaborasi yang harmonis antara pembuat film dan subjeknya, sebuah kunci keberhasilan dalam genre dokumenter.
Setelah semua rekaman terkumpul, fase pasca-produksi dimulai, yang juga memakan waktu sekitar satu bulan. Di sinilah semua potongan gambar, klip wawancara, dan rekaman audio disatukan menjadi sebuah narasi utuh. Proses pengeditan adalah seni tersendiri, di mana cerita dibangun, emosi disampaikan, dan pesan film dirangkai. Pemilihan musik, color grading, dan penyesuaian suara semua dilakukan dengan teliti untuk menghasilkan karya yang berkualitas dan berdampak.
Sepanjang perjalanan ini, Universitas Amikom Yogyakarta juga memainkan peran besar. Melalui dosen pembimbing mereka, Ibu Giza, serta fasilitas kampus yang memadai, mahasiswa mendapatkan bimbingan dan dukungan yang esensial. Ini membuktikan bahwa kampus tidak hanya menjadi tempat transfer ilmu, tetapi juga inkubator bagi lahirnya karya-karya kreatif dan inovatif yang memiliki nilai lebih.
Jendela Amikom di MQFM Jogja: Membedah Film dan Menyebarkan Inspirasi
Karya mahasiswa Amikom ini tidak hanya berhenti sebagai film, melainkan juga dibahas tuntas dalam sebuah segmen khusus di podcast MQFM Jogja, yaitu Jendela Amikom. Siaran radio yang kemudian diunggah sebagai podcast ini menjadi medium yang efektif untuk menyebarkan kisah inspiratif di balik layar.
Pada 9 Juli 2025, Rizky Raka Asydik dan Muhammad Nur Haqqi hadir sebagai narasumber utama dalam segmen tersebut. Mereka berbagi cerita secara langsung tentang motivasi di balik pembuatan film, suka duka selama proses produksi, hingga harapan mereka terhadap dampak film ini bagi masyarakat.
Dalam diskusi ini, para mahasiswa Amikom menjelaskan bagaimana film “Wunut: Titik Balik di Tengah Keterbatasan” sengaja dibuat dalam format dokumenter karena tujuannya adalah menampilkan realitas tanpa rekayasa. Mereka ingin penonton melihat secara gamblang bagaimana Desa Wunut bertransformasi dari desa miskin dan tertinggal, melompat langsung menjadi desa mandiri, tanpa harus melewati tahapan “berkembang” atau “maju” yang biasanya terbayang dalam benak kita. Ini adalah narasi yang kuat tentang lompatan kemajuan yang bisa dicapai sebuah komunitas.
Podcast ini juga mengupas detail tentang bagaimana proses pengajuan tugas akhir non-reguler di Amikom. Raka dan Haqqi menjelaskan bahwa prosesnya tidak jauh berbeda dengan skripsi reguler, dimulai dengan pengajuan konsep dan ide cerita yang matang. Ini memberikan gambaran kepada pendengar, khususnya calon mahasiswa atau mahasiswa lain, tentang jalur alternatif yang bisa mereka tempuh untuk menyelesaikan studi sambil menghasilkan karya yang nyata dan bermanfaat. Selain film, skema tugas akhir non-reguler di Amikom juga mencakup berbagai bentuk karya kreatif lain seperti company profile, photo story, desain, hingga branding logo. Ini menunjukkan fleksibilitas dan visi pendidikan Amikom yang adaptif terhadap kebutuhan industri kreatif.
Pesan dan Dampak: Lebih dari Sekadar Film, Lebih dari Sekadar Podcast
Film “Wunut: Titik Balik di Tengah Keterbatasan” dan diskusinya di podcast MQFM Jogja membawa pesan yang mendalam. Pertama, ini adalah bukti bahwa isu sosial di masyarakat dapat diangkat dan disikapi dengan cara yang positif dan inspiratif. Alih-alih hanya berfokus pada masalah, film ini menyoroti solusi, kegigihan, dan potensi yang ada di setiap komunitas. Ini adalah pendekatan yang lebih memberdayakan.
Kedua, ini adalah cerminan dari potensi besar mahasiswa Amikom dan generasi muda pada umumnya. Dengan semangat, kreativitas, dan dukungan yang tepat dari institusi pendidikan, mereka mampu menciptakan karya-karya yang tidak hanya memenuhi tuntutan akademis, tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat dan industri. Ini adalah inspirasi lokal yang menunjukkan bahwa bakat-bakat muda di Indonesia memiliki kapasitas untuk menjadi agen perubahan.
Ketiga, keberadaan siaran radio yang kemudian diunggah sebagai podcast menunjukkan adaptasi media di era digital. Informasi berharga yang awalnya terbatas pada waktu siaran live kini bisa diakses kapan saja dan di mana saja, memperluas jangkauan pesan film dokumenter Wunut ini. Ini adalah kemenangan bagi penyebaran informasi yang berarti dan inspiratif.
Harapan yang disampaikan oleh Raka dan Haqqi dalam podcast juga patut digarisbawahi. Mereka berharap film ini dapat menginspirasi lebih banyak desa di seluruh Indonesia untuk mengenali dan mengelola potensi yang mereka miliki. Mereka juga berharap dapat terus berkarya di industri film, menciptakan lebih banyak lagi konten yang berarti dan berdampak positif.
Mengabadikan Transformasi, Menebar Semangat
Kisah Desa Wunut yang terekam dalam film dokumenter karya mahasiswa Amikom Rizky Raka Asydik dan Muhammad Nur Haqqi, serta kemudian disiarkan dan dibahas di podcast MQFM Jogja, adalah sebuah lingkaran sempurna dari inspirasi yang terus berputar. Ini adalah bukti bahwa dari sebuah masalah isu sosial dapat lahir sebuah karya seni yang mendidik, dan dari sebuah karya pendidikan dapat terwujud sebuah inspirasi lokal yang tak terbatas.
Artikel ini bukan hanya tentang bagaimana sebuah film dibuat atau sebuah podcast direkam. Ini adalah tentang kekuatan cerita, potensi anak bangsa, dan semangat sebuah komunitas untuk bangkit. Semoga kisah Desa Wunut yang diangkat oleh mahasiswa Amikom ini, yang kini bisa dinikmati melalui film maupun podcast, terus menjadi lentera yang menerangi jalan bagi desa-desa lain untuk menemukan “titik balik” mereka sendiri.
Baca Juga: Top 35 Nasional P2MW 2025