Bayangin, bro, kuliah di salah satu PTS terbaik di Indonesia, Universitas Amikom Yogyakarta, terus tiba-tiba dilirik perusahaan Jepang cuma gara-gara rajin update GitHub. Keren, kan? Itulah cerita Agus Heryanto, mahasiswa S1 Informatika yang bikin orang-orang ngerasa, “Wah, gitu ya caranya main di level internasional!” Dari kamar kosan di Jogja, Agus ngegas karirnya sebagai programmer remote di perusahaan Jepang, 80&Company.inc, sambil masih nyambi kuliah semester enam. Penasaran gimana ceritanya? Yuk, kita bedah!
Awal Mula: Rajin di GitHub, Auto Dilirik HRD
Agus Heriyanto bukan tipe mahasiswa yang cuma dateng kuliah, nyatet, ujian, lalu pulang. Dari semester awal, dia udah punya hobi yang bikin temen-temennya geleng-geleng: ngoprek kode dan rajin banget update portofolio di GitHub. “Buahnya coding dikit-dikit, ya, diunggah ke GitHub,” kata Agus sambil ketawa. Dia nggak cuma bikin repo buat tugas kuliah, tapi juga proyek-proyek sampingan yang bikin orang-orang di dunia maya ngeh, “Eh, anak ini jago, nih.”
Siapa sangka, kebiasaan ini jadi tiket emasnya. Suatu hari, notifikasi LinkedIn-nya bunyi. Bukan spam atau endorse skill abal-abal, tapi pesan dari HRD sebuah perusahaan di Jepang, 80&Company.inc. Mereka tertarik sama portofolio GitHub-nya Agus. “Awalnya kaget, bro. Kok tiba-tiba ada yang DM dari Jepang? Aku pikir scam,” cerita Agus sambil ngakak. Tapi setelah cek-cek, ternyata beneran! Perusahaan itu lagi hunting programmer buat proyek mereka, dan portofolio Agus yang rapi di GitHub bikin mereka kepincut.
Proses Seleksi: Dari LinkedIn ke Kontrak
Prosesnya nggak main-main. Setelah dihubungi lewat LinkedIn, Agus masuk tahap wawancara daring. Bayangin, wawancara sama orang Jepang, pake bahasa Inggris, sambil deg-degan karena ini pengalaman pertama. “Aku sih nervous, tapi ya pokoknya jawab apa adanya. Untungnya mereka ramah,” ujar Agus. Pertanyaan wawancaranya nggak cuma soal coding, tapi juga soal cara dia ngatur waktu dan kerja bareng tim.
Setelah lulus wawancara, Agus dikirimin kontrak kerja. Kontraknya bikin mata melotot: gaji per jam, dengan janji kenaikan tiap tiga bulan. “Ini beneran, bro? Aku cuma mahasiswa, kok udah disodorin kontrak gini,” pikir Agus waktu itu. Tapi, ya, dia tanda tangan, dan resmi deh jadi programmer remote di 80&Company.
Kerja Remote: Ngoprek Kode dari Kamar Kosan
Kerja remote buat perusahaan Jepang itu nggak kayak main-main bikin web statis pake HTML doang. Agus langsung dilempar ke proyek serius: pengembangan platform bernama Minbako. Tugas pertamanya? Bikin fitur automatic reply function buat post di platform itu, lengkap dengan integrasi notifikasi via email. “Awalnya bingung, sih, karena arsitektur sistemnya kompleks. Tapi lama-lama ngerti, apalagi timnya suportif,” cerita Agus.
Koordinasi tim dilakukan pake alat-alat modern yang bikin anak IT ngiler. Komunikasi pake Slack, manajemen kode di GitHub, coding pake Cursor sebagai teks editor, laporan jam kerja via Workchain, dan dokumentasi teknis di Notion. “Aku ngerasa kayak masuk dunia baru. Semuanya serba terorganisir, beda banget sama bikin tugas kuliah yang asal-asalan,” canda Agus.
Dari Tugas Kecil ke Proyek Gede
Di awal, tugas Agus masih ringan-ringan. Bikin fitur kecil, nge-fix bug, atau nambahin fungsi sederhana. Tapi, lama-lama, dia mulai dikasih tanggung jawab gede. Salah satu proyek besar yang dia garap adalah fitur Bulletin Board, komponen utama di platform Minbako. Ini bukan cuma nulis kode biasa, tapi harus ngerti logika bisnis di balik platform, plus pastiin kodenya rapi dan sesuai standar perusahaan.
“Fitur Bulletin Board ini bikin aku ketar-ketir. Banyak komponen yang harus nyambung, dari frontend sampe backend. Belum lagi harus ngatur database biar nggak ngaco,” ujar Agus. Tapi, justru dari sini dia belajar banyak soal standar kualitas pengembangan perangkat lunak di level internasional. “Di Amikom, kita diajarin coding yang bener. Tapi di proyek ini, aku belajar bikin kode yang nggak cuma bener, tapi juga elegan,” tambahnya.
Tantangan: Kuliah 20 SKS vs. Deadline Proyek
Tapi, hidup nggak selalu mulus kayak di film. Agus ngejalanin kerja remote ini sambil kuliah semester enam dengan beban 20 SKS. Bayangin, bro, 20 SKS! Itu artinya kuliah dari pagi sampe sore, belum lagi tugas dan kuis yang numpuk. “Ada kalanya aku ngerasa kayak zombie. Pagi kuliah, malam coding, subuh ngerjain laporan,” keluh Agus.
Tantangan terbesar? Manajemen waktu. Apalagi proyek Bulletin Board punya deadline ketat. “Pernah sehari cuma tidur tiga jam karena harus nyelesain kode sambil ngejar deadline presentasi kelompok,” ceritanya. Tapi, Agus nggak menyerah. Dia bikin skala prioritas: tugas kuliah yang penting dikerjain duluan, sisanya diselipin di sela-sela waktu luang. “Aku manfaatin waktu di kos buat baca-baca dokumentasi di Notion,” katanya sambil nyengir.
Bahasa Jepang: Tantangan yang Bikin Deg-degan
Satu lagi yang bikin cerita Agus tambah seru: komunikasi pake bahasa Jepang. Bukan cuma bahasa Inggris, tapi kadang timnya pake huruf Kanji dan istilah-istilah teknis dalam bahasa Jepang. “Awalnya aku blank, bro. Kanji itu kayak teka-teki silang buatku,” candanya. Tapi, Agus nggak mau kalah. Dia manfaatin teknologi, dari Google Translate sampe aplikasi AI, buat ngerti instruksi client.
Kuliah di Amikom: Fondasi yang Kuat
Agus bilang, semua ini nggak bakal kejadian kalo dia nggak kuliah di Amikom. “Amikom itu kayak rumah buat anak-anak yang doyan ngoprek teknologi,” ujarnya. Kurikulum di Amikom, menurut Agus, nggak cuma ngajarin coding, tapi juga cara berpikir kritis dan kerja tim. “Dosen-dosen di sini juga nggak pelit ilmu. Mereka bikin kita pengen eksplor lebih jauh,” tambahnya.
Fasilitas di Amikom juga jadi penutup sempurna. Dari laboratorium komputer yang selalu update sampe inkubator bisnis buat yang pengen bikin startup. “Aku sering ngulik proyek sampingan di lab. Kadang sampe lupa waktu,” cerita Agus. Belum lagi komunitas di Amikom yang bikin dia selalu termotivasi. “Di sini, kalo lo males, malu sendiri. Soalnya temen-temen pada ambis semua,” katanya.
Gaji Per Jam dan Motivasi ke Depan
Ngomongin soal gaji, Agus cuma nyengir pas ditanya. “Gaji per jam, bro. Tiap tiga bulan naik, asal performa oke,” katanya. Tapi, buat Agus, duit bukan satu-satunya motivasi. “Bisa kerja sama orang-orang hebat dari Jepang, belajar teknologi baru, itu yang bikin aku semangat,” ujarnya. Dia juga bilang, pengalaman ini bikin dia makin yakin buat ngejar karir di industri teknologi global.
Ke depan, Agus punya rencana gede. Dia pengen bikin startup sendiri, mungkin di bidang AI atau game development. “Amikom ngajarin aku bahwa teknologi itu nggak cuma soal kode, tapi soal bikin sesuatu yang bermanfaat buat orang banyak,” katanya. Untuk sekarang, dia fokus nyelesain kuliah sambil ngegiling proyek di 80&Company. “Semoga lulus tepat waktu, terus bisa ke Jepang beneran, bukan cuma via Zoom,” candanya.
Pesan Agus: Jangan Takut Bermula dari Kecil
Kisah Agus ini kayak reminder buat kita semua: bermula dari kecil, seperti rajin update GitHub, bisa bawa ke peluang besar. “Jangan takut buat mulai. Kalo lo suka ngoding, ya, kode aja. Upload ke GitHub, siapa tahu dilirik orang,” pesan Agus. Dia juga bilang, kuliah di Amikom bikin dia percaya bahwa anak Indonesia bisa bersaing di kancah global, asal punya kemauan dan kerja keras.
Jadi, buat kalian yang lagi kuliah atau masih bingung mau ngapain, dengerin cerita Agus. Dari kamar kosan di Jogja, dia bisa nyanyi J-Pop sambil ngoding buat perusahaan Jepang. Keren, kan? Kalau Agus bisa, kalian juga pasti bisa!




