Pernyataan tegas Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengenai utang kereta cepat Jakarta-Bandung telah memicu diskusi luas di ruang publik. Purbaya secara terbuka menolak opsi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menanggung kewajiban finansial proyek yang dikenal sebagai “Whoosh” tersebut.
Sikap ini menandai babak baru dalam pengelolaan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) paling ambisius di Indonesia. Keputusan ini tidak hanya menyangkut angka, tetapi juga prinsip dasar mengenai tanggung jawab korporasi versus negara dalam pembiayaan infrastruktur Indonesia. Artikel ini akan menguraikan secara faktual dan netral mengenai latar belakang, alasan, serta potensi dampak dari kebijakan tersebut.

Sejarah dan Profil Proyek Kereta Cepat Whoosh
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) diresmikan dengan janji awal bahwa skema pembiayaannya murni business-to-business (B2B). Pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo saat itu, berulang kali menegaskan bahwa proyek ini tidak akan membebani APBN. Artinya, seluruh risiko dan tanggung jawab finansial berada di pundak konsorsium pelaksana.
Seiring berjalannya waktu, proyek ini menghadapi tantangan berat, termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) senilai US$1,2 miliar. Akibatnya, pemerintah akhirnya menyalurkan dana APBN melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk menutupi kekurangan tersebut.
Total investasi proyek ini mencapai US$7,27 miliar, atau setara Rp 118,37 triliun. Struktur pembiayaannya sangat bergantung pada pinjaman, di mana 75% berasal dari China Development Bank (CDB) dan 25% sisanya dari modal pemegang saham. Proyek ini dioperasikan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), sebuah perusahaan patungan antara konsorsium BUMN Indonesia (PT PSBI) yang memegang 60% saham, dan konsorsium perusahaan China dengan 40% saham.

Posisi Menteri Keuangan Purbaya: Alasan Menolak Pembayaran Utang Kereta Cepat via APBN
Sikap Purbaya tolak bayar utang kereta cepat didasarkan pada beberapa argumen fundamental yang berpusat pada prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas korporasi.
Tanggung Jawab Korporasi, Bukan Pemerintah
Alasan utama Purbaya adalah bahwa utang kereta cepat merupakan tanggung jawab korporasi, bukan pemerintah. Ia menegaskan bahwa proyek ini kini berada di bawah pengelolaan BPI Danantara, sebuah induk BUMN. Menurutnya, Danantara memiliki kapasitas finansial yang memadai untuk menyelesaikan masalah ini secara internal.
Purbaya menyoroti bahwa Danantara mengelola dividen BUMN yang nilainya mencapai lebih dari Rp 80 triliun per tahun, yang sebelumnya masuk ke kas negara. “Harusnya mereka manage (kelola) dari situ. Jangan kita lagi,” ujarnya, seperti dikutip dari berbagai media.
Prinsip Pemisahan Entitas Bisnis dan Negara
Menkeu Purbaya menekankan pentingnya memisahkan secara tegas antara urusan bisnis (swasta/korporasi) dan pemerintah (government). Ia berpendapat bahwa akan menjadi “agak lucu” jika APBN harus menanggung beban utang, sementara keuntungan (dividen) dinikmati oleh entitas korporasi.
Prinsip ini terangkum dalam pernyataannya yang viral: “Untungnya ke dia (Danantara), susahnya ke kita”. Ia juga mengingatkan agar tidak ada tumpang tindih tanggung jawab, di mana saat proyek menguntungkan dianggap sebagai urusan swasta, namun saat merugi menjadi beban pemerintah.
Respons Pemerintah dan Tanggapan Istana
Menanggapi sikap tegas Menkeu Purbaya, pihak Istana Kepresidenan memberikan respons yang terukur. Melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, pemerintah menyatakan akan mencari “skema” atau “jalan keluar” untuk menyelesaikan masalah utang kereta cepat Whoosh.
Pernyataan Istana tidak secara langsung membantah posisi Purbaya, melainkan menegaskan bahwa solusi sedang diupayakan tanpa membebani APBN. Pemerintah juga menekankan pentingnya keberlanjutan proyek ini sebagai moda transportasi strategis, bahkan menyinggung rencana pengembangannya hingga ke Surabaya.
Skema Penyelesaian Utang Kereta Cepat yang Diusulkan
Di tengah polemik ini, BPI Danantara sebagai pihak yang ditunjuk untuk bertanggung jawab telah mengajukan dua skema penyelesaian utama. Opsi-opsi ini kini menjadi bahan pertimbangan utama.
- Suntikan Modal Tambahan (Ekuitas)
Opsi pertama adalah memberikan suntikan modal kepada PT KAI sebagai pemegang saham mayoritas di konsorsium Indonesia. Langkah ini bertujuan memperkuat struktur permodalan KAI agar mampu menanggung kewajibannya. - Pengalihan Aset Infrastruktur
Opsi kedua adalah menyerahkan aset infrastruktur fisik Whoosh (seperti rel dan stasiun) kepada pemerintah. Dengan skema ini, infrastruktur akan menjadi milik negara, dan konsekuensinya, utang yang melekat pada aset tersebut juga beralih menjadi tanggung jawab negara.
Selain dua opsi tersebut, proses negosiasi untuk restrukturisasi utang dengan pihak China juga tengah berlangsung untuk mencari struktur pembiayaan baru yang lebih berkelanjutan.
Dampak Potensial terhadap Keuangan Negara dan Proyek
Polemik utang kereta cepat ini memiliki dampak signifikan, terutama bagi PT KAI sebagai pemimpin konsorsium. Dengan kepemilikan saham terbesar, KAI menjadi BUMN yang paling terbebani oleh kerugian finansial proyek Whoosh.
Direktur Utama KAI, Bobby Rasyidin, bahkan menyebut tumpukan utang ini sebagai “bom waktu” yang harus segera diselesaikan agar tidak merusak kesehatan finansial KAI secara fundamental. Sejumlah anggota Komisi VI DPR RI juga menyuarakan kekhawatiran bahwa kerugian dari proyek komersial ini dapat mengganggu mandat KAI dalam menjalankan Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation/PSO) untuk kereta api kelas ekonomi.
Data menunjukkan konsorsium PSBI terus mencatatkan kerugian, yaitu sebesar Rp 4,2 triliun pada 2024 dan berlanjut Rp 1,63 triliun pada semester pertama 2025. Situasi ini menambah urgensi untuk menemukan solusi yang tepat.
Penutup
Sikap Menteri Keuangan Purbaya yang menolak penggunaan APBN untuk membayar utang kereta cepat Whoosh menjadi penanda penting dalam kebijakan fiskal dan tata kelola BUMN di Indonesia. Keputusan ini menekankan prinsip bahwa risiko proyek korporasi harus dikelola oleh entitas bisnis yang menjalankannya, bukan dialihkan ke kas negara.
Saat ini, pemerintah dan pihak terkait sedang menjajaki berbagai skema penyelesaian, mulai dari aksi korporasi internal hingga negosiasi restrukturisasi utang. Hasil dari polemik ini tidak hanya akan menentukan nasib proyek kereta cepat Whoosh, tetapi juga akan menjadi preseden penting bagi model pembiayaan infrastruktur Indonesia di masa depan.
Baca Juga: Persentase Kenaikan Gaji PNS 2025: Rincian Lengkap per Golongan dan Tabel Terbaru
Persentase Kenaikan Gaji PNS 2025: Rincian Lengkap per Golongan dan Tabel Terbaru